Minggu, 25 Januari 2015

cerpen tapi cerpan



KEJUTAN HIDUP
“Bu”
“Ya”
 “… Maaf …”
“Ibu sudah tahu semuanya, Ibu sudah bilang  jangan Pak, sekarang apa? Bagaimana? Uang haram! Uang Negara!”
“Maaf, aku, aku gak tahu lagi! Ntah mengapa ini semua terjadi!”
“Ini bukan masalah yang harus diselesaikan hanya dengan mengucapkan kata maaf!”
Entah apa yang sedang dibicarakan seorang wanita dan pria itu, kedua manusia yang paling berharga di kehidupanku.
Plaaaaak!
Terdengar suara hentakan tangan yang sangat keras, dengan badan yang lesu dan terbaring di atas kasur saat itu juga aku melesatkan air mata yang jatuh perlahan ke bantal di kamarku.
 “Haura kamu harus makan ya, ini obatnya sudah Ibu siapkan semua”.
 Tiba- tiba ibu muncul dan duduk di sampingku matanya tampak merah dan bengkak, pipinya melebam, saat situasi seperti ini apa yang harus dilakukan seorang anak perempuan yang sakit? Apa harus menghibur ibunya? terdiam? Ikut menangis? Ntah lah aku tak tahu harus melakukan apa.
Tanpa tenaga aku bangkit dari tidurku di depan wanita yang sedang menangis itu, atau mungkin lebih tepatnya aku cukup melewati wanita itu dan keluar dari kamar tanpa bergeming sedikitpun.
“Haura! Mau kemana kamu? Kamu masih sakit”
“Mungkin cobaanku ini hanya setitik dari apa yang Ibu dan Ayah rasakan saat ini” Gumamku dalam hati.
Aku sudah tahu apa yang dilakukan ayah selama ini, seharusnya  aku yang menghalanginya, sekarang aku benar-benar takut, takut kehilangan semuanya, aku takut jika jalur yang telah aku gariskan lurus harus berbelok tanpa arah.
“Heeei Hauraaa!”
Aku memutarkan badan dan melihat seorang gadis berlari ke arahku.
“Kenapa kamu tidak masuk sekolah?”
“Aku sakit”
“Tapi sakit kok keluar rumah?”
“Sudah sembuh”
“Wajah kamu terlihat pucat”
“Mungkin masih sakit”
“Ini manusia ngomong gak jelas“
“Iya gak jelas”
“hari Senin kamu harus masuk ya! Soalnya hari Senin try out”
Gadis itu, gadis yang bisa dikatakan menyebalkan, alay, cerewet, kepo, tapi tanpa disadari hanya Vio yang selalu ada disaat aku seperti ini, dan aku yakin sahabat baik itu ada, walau tak ada yang sempurna untuk kita.
Pagi Hari
Haura kamu pergi sekolah bisa sendiri kan? Ayah sibuk”
“Iya bisa, Haura sudah kenyang, Haura pergi dulu”
“Hati-hati ya, jangan lupa jam istirahat makan” Kata ibu yang sedang menggenggam tangan hangatku.
Sudah 15 menit aku menunggu angkot disini, tak satupun yang lewat, tentu saja aku mencetuskan untuk jalan kaki, sekolahku lumayan jauh, namun hendak melangkahkan kaki dengan cepat, gadis itu datang tiba-tiba lagi.
“Hauraaaaa! Sendirian? Sama aku aja, cepat!”
Akupun masuk ke dalam mobil mewah miliknya, seperti biasa sindrom narsis Vio mulai kumat, dia mengambil foto bersamaku dan meng-upload ke facebook dan instagram miliknya, sungguh alay gadis ini, tapi yang sangat ironis adalah (Vio dengan rambut indahnya dan berbedak tebal mengambil foto berdua dengan seorang cewek berkeringat, rambut mengembang, bedak yang luntur, dan berekspresi mulut setengah nganga plus hidung mengembang, tak lupa pandangan mata yang tak berdosa kea rah kamera, dan tangan yang seolah-olah menjadi kipas).
“Try Out pertama pergi sekolah bareng Haura asiik” Ujar Vio dengan nada manja sambil asik mengetikkan kata-kata tersebut di HPnya.
“Vio makasih ya udah mau numpangin”
“Sama-sama beeybeeeh, OMGGG! Ada pria tampan comment foto kita”
‘Pria tampan?’ pikirku, sejak kapan Vio pake bahasa Indonesia yang baik dan benar, sejak kapan ada julukan ‘pria tampan’ untuk salah satu temannya di media social, entah mengapa ada orang yang seperti ini mau berteman dengan orang sepertiku.
“Emangnya bilang apa?”
“Ada deeh, kamu pasti bakalan kepo”
“Aku? Aku? Gak bakalan kepo dengan urusan kamu, Vio”
“Haura, kamu sekarang kok jahat sama aku”
“Aku? Aku? Aku jahat?”
“Iya kamu. Kamu jahat”
“Pio kamu itu terlalu L-E-B-A-Y”
“Pio? Pio? Kamu panggil aku Pio? Hora bilang aku lebay?”
“Hora? Sejenis bahasa Indonesia yang tidak baku”
“Hora itu nama kamu, nama kamu”
‘Untung aja ini mobil punya dia, kalau enggak..’ kata hatiku.
 “Iya, nama kamu, Hora, Hooraemonn kenapa diam?”
“Sudahlah Pio, kita ini udah ada di depan gerbang sekolah lima menit yang lalu, dan kamu masih gak mau turun? Aku turun duluan ya”
“Haura! Iih! Haura! Tunggooeh!”
SMA Harapan Bangsa
Benar-benar mimpi buruk, mengerjakan soal-soal matematika yang menyedihkan dan seolah ada yang mencengkram kepalaku dengan sangat erat.
“Haura! Jangan melamun!”
Bentakan guru itu, guru super killer yang sekarang mengawas ruangan ini,  memecahkan keheningan seisi ruangan.
“Maaf Bu, kepala saya pusing”
“Banyak alasan kamu!”
Tengggg! Tenggg tenggg!
Suara pertanda istirahat menggemuruhkan kantin sekolah, tak lupa aku menjalankan pesan dari ibu, mungkin setelah ini kepalaku akan membaik.
Setiap pulang sekolah selalu ada gadis centil itu di ambang pintu kelasku, mungkin sudah menjadi hal rutin sejak aku dan Vio  masih duduk di bangku SMP dulu.
“Kamu pulang sama aku aja ya!”
“Ga usah makasih Vio, nanti ayah aku juga jemput kok”
“Padahal aku mau ngajak kamu jalan-jalan dulu, ya udah aku duluan ya! Sudah dijemput”  Viopun berlari sembari menyibakkan rambut panjangnya.
Lagi-lagi menunggu dengan waktu yang tak singkat, hidupku butuh kesabaran setiap menit, mengerjakan pekerjaan yang dilakukan dengan tidak sabar saja harus sabar, ya cukup miris.
Tuuuuut tuuuut tuuuut
Nomor yang anda tuju sedang sibuk cobalah beberapa saat lagi
Mungkin phobiaku adalah benci dengan suara wanita itu, suara yang selalu datang disetiap aku menelpon ayah, dan aku kembali bersabar.
 Di tengah teriknya panas kota ini, aku berjalan menuju rumah, sesampai di rumah tak terlihat seorangpun, tak seperti biasanya tak ada ibuku yang duduk manis di ruang tamu.
Aku membuka pintu yang tak terkunci, dengan pikiran yang kosong, aku langsung masuk ke kamar, tampak wajahku yang pucat dan mataku yang sangat merah di cermin depan kasurku, aku terbaring dan sesaat setelah mengenduskan napas yang dalam aku terlelap tak sadarkan diri.
Tepat matahari mulai terbenam, cahaya-cahaya disetiap rumah dan gedung-gedungpun terlihat jelas dari jendela kamarku, aku terbangun dan mencoba untuk menstabilkan diri, menghidupkan lampu dan mengecek di setiap ruangan, ternyata masih saja tak ada lagi orang di rumahku selain diri yang lemas ini.
Tiba-tiba terdengar deringan HPku, benar apa yang sudah kutafsirkan terlihat nama ibu.
“Hallo”
“Haura kamu sudah makan? Ibu sudah siapkan makanan di lemari es untuk besok, Ibu juga sudah masak buat kamu makan hari ini”
“Sudah makan di sekolah”
“Kamu harus makan, besok kamu bisa membuat makanan instan yang sudah Ibu siapkan, Ibu lagi di rumah nenek,  jangan bilang Ayah Ibu ada dimana, kalau kamu masih sakit obatnya ada di atas lemari kamu, jaga diri kamu baik-baik, maaf sayang, ibu sayang Haura”
“Iy…”
Tuuuut tuuuut tuuut
 “Assalamualaikum” suara ayah merubah situasi.
“Wa’alaikum salam, Yah Ibu gak ada dirumah”
“Biarkan saja” dengan santainya ayahku bicara seperti itu, ku kira ayah akan mencari ibu dan tak tidur semalaman.
Sekarang aku tak mengerti apa yang dipikirkan semua orang, kini kejadian dimana hal yang tak ku inginkan terjadi, aku harap ibu juga tak tidur semalaman sama denganku, yang pasti ayah tak begitu.
Sudah berminggu-minggu tanpa ibu di sini, tak pernah lagi ku dengar suara teriakan ibu setiap pagi, genggaman tangan itu, dan senyuman ibu yang menenangkan hatiku.
Pagi ini nenek menelponku dan bilang kalau ibu sakit, hendak memberi kabar ke ayah, namun ayah sudah pergi dulu, sesibuk inikah seorang koruptor, kini aku menjadi anak dingin dari seorang koruptor dan ibu yang pergi dan sakit, keluarga berantakan, yang sedang sibuk dengan ujian yang 2 bulan lagi akan datang, mungkin sebentar lagi kedinginan ini berubah menjadi kedepresian yang dapat membelokkan garis arah mimpiku.
Ku kira ini hanya mimpi yang sebatas khayalan, aku berlari dan desak-desakkan ke mading sekolah bersama Vio, tampak tulisan “Haura Penia” aku menggerakkan lurus jadi telunjukku terlihat lagi tulisan “LULUS” tak sadar air mata pertama dan terakhir menetes di sekolah ini tepat di pundak Vio, sahabatku.
Dengan langkah kaki yang sangat cepat aku berlari menuju rumahku, terlihat dari jauh orang-orang yang berbadan kekar dan tinggi turun dari mobilnya di depan rumahku, aku menghentikan langkah ini, membuka kunci handphone, mencari nama “Ayah”, dan menekan tombol berwarna hijau, tiba-tiba saja seorang menarik tanganku, tangan hangat itu pasti tangan ayah, ia langsung berlari membawaku masuk kedalam mobilnya dan melaju kencang.
“Ayah aku lulus! Alhamdulillah nilainya bagus”
“Alhamdulillah”
“Kita mau kemana?”
“Kamu bisa diam!?” bentakan ayah meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sontak aku langsung terdiam dan memandangi jalanan perkotaan yang begitu padatnya, mobil yang ku kendarai ini langsung berhenti depan rumah sakit.
“Ibu?” pertanyaan ku itu sama sekali tak merespon ayah yang sibuk melangkahkan kaki di lorong-lorong rumah sakit.
“Kamu tunggu disini” kata ayah dan iapun pergi ke dalam salah satu ruangan.
Saat melihat ke sekeliling terlintas seorang yang tak asing lagi di salah satu lorong, itu nenekku, aku langsung mengikuti nenek, nenekku berhenti dalam ruangan tempat dimana ibuku sedang terbaring lemas, aku langsung memeluk erat ibuku yang sedang terlelap, ternyata ayah sudah ada dari tadi mengikutiku sampai disini.
Dokter bergumam agar meninggalkan ruangan ini karena ibu akan pindah ruangan, aku bergegas keluar hanya bisa melihat ibu dari jendela ruangan baru itu, ayahpun pergi entah kemana, karna sekarang aku tak lagi ingin memikirkan ayah, aku hanya ingin berbagi kebehagiaan hari ini untuk ibuku.
Waktu yang harus aku lewati untuk memberi kabar gembira harus berubah situasi, aku yakin ini memang adil tapi jujur aku belum bisa menerima kenyataan yang ada.
*****
Hari yang kujalani untuk menempuh mimpi-mimpi yang telah ku susun dan tertata rapi, sekarang hanya berdua, ya hanya berdua dengan sang ibu yang telah sembuh dari penyakit livernya, ayahku memang seorang koruptor, tapi seorang koruptor tetaplah manusia, sekali manusia terjahatpun tetaplah mempunyai hati nurani.
Akhir-akhir ini ayah memang dingin, tapi dulu ayah adalah sesosok yang sangat menyenangkan, aku percaya ayah melakukan ini bukanlah untuk lari dari kenyataan, tapi ayah hanya memperbaiki kenyataan yang ada, selagi kenyataan itu masih bisa diusahakan untuk diperbaiki, walau sekarang keluargaku selalu dicemooh orang disekitar rumahku, walau sekarang aku dan ibu tak lagi punya rumah, hanya tinggal bersama sang nenek yang setia pada ibuku, aku harap ibuku juga begitu padaku suatu saat nanti.
Pernah merasakan memperjuangan puncaknya mimpi bersama ayah yang sekarang pergi jauh tak kembali lagi, dan merasakan memperjuangkan kesuksesan bersama ibu, sekarang aku kuliah di salah satu univercity di Australia, telah ku katakan orang selalu menggoncang-gancing keluargaku, pernah ku dengar “Dia memakai uang Ayahnya, buat kuliah jauh”  aku tidak memakai uang ayahku, uang ayahku semuanya diserahkan ke negara, aku kuliah karena mendapat beasiswa prestasi, Vio? Ya Vio juga sekarang satu kampus denganku, kami memang selalu ditakdirkan bersama, tapi tidak untuk berumah tangga.
‘Tak ada hidup yang sempurna hanya ada hidup yang adil’ tetap ku simpan kata-kata ayah sepuluh tahun yang lalu sampai kapapun, dan aku akan tetap bilang sampai kapanpun kata-kata ini untuk ayah “Bukannya aku tak ikhlas Ayah tak ada, aku hanya merindukanmu, Ayah”
______``______
FITRIA SHOLATA