KEJUTAN HIDUP
“Bu”
“Ya”
“… Maaf
…”
“Ibu sudah tahu
semuanya, Ibu sudah bilang jangan Pak,
sekarang apa? Bagaimana? Uang haram! Uang Negara!”
“Maaf, aku, aku
gak tahu lagi! Ntah mengapa ini semua terjadi!”
“Ini bukan
masalah yang harus diselesaikan hanya dengan mengucapkan kata maaf!”
Entah apa yang
sedang dibicarakan seorang wanita dan pria itu, kedua manusia yang paling
berharga di kehidupanku.
Plaaaaak!
Terdengar suara
hentakan tangan yang sangat keras, dengan badan yang lesu dan terbaring di atas
kasur saat itu juga aku melesatkan air mata yang jatuh perlahan ke bantal di
kamarku.
“Haura kamu harus makan ya, ini obatnya sudah
Ibu siapkan semua”.
Tiba- tiba ibu muncul dan duduk di sampingku
matanya tampak merah dan bengkak, pipinya melebam, saat situasi seperti ini apa
yang harus dilakukan seorang anak perempuan yang sakit? Apa harus menghibur
ibunya? terdiam? Ikut menangis? Ntah lah aku tak tahu harus melakukan apa.
Tanpa tenaga aku
bangkit dari tidurku di depan wanita yang sedang menangis itu, atau mungkin
lebih tepatnya aku cukup melewati wanita itu dan keluar dari kamar tanpa
bergeming sedikitpun.
“Haura! Mau
kemana kamu? Kamu masih sakit”
“Mungkin cobaanku
ini hanya setitik dari apa yang Ibu dan Ayah rasakan saat ini” Gumamku dalam
hati.
Aku sudah tahu
apa yang dilakukan ayah selama ini, seharusnya
aku yang menghalanginya, sekarang aku benar-benar takut, takut
kehilangan semuanya, aku takut jika jalur yang telah aku gariskan lurus harus
berbelok tanpa arah.
“Heeei Hauraaa!”
Aku memutarkan
badan dan melihat seorang gadis berlari ke arahku.
“Kenapa kamu
tidak masuk sekolah?”
“Aku sakit”
“Tapi sakit kok
keluar rumah?”
“Sudah sembuh”
“Wajah kamu
terlihat pucat”
“Mungkin masih
sakit”
“Ini manusia
ngomong gak jelas“
“Iya gak jelas”
“hari Senin kamu
harus masuk ya! Soalnya hari Senin try
out”
Gadis itu, gadis
yang bisa dikatakan menyebalkan, alay, cerewet, kepo, tapi tanpa disadari hanya
Vio yang selalu ada disaat aku seperti ini, dan aku yakin sahabat baik itu ada,
walau tak ada yang sempurna untuk kita.
Pagi Hari
“Haura kamu pergi sekolah bisa sendiri kan?
Ayah sibuk”
“Iya bisa, Haura
sudah kenyang, Haura pergi dulu”
“Hati-hati ya,
jangan lupa jam istirahat makan” Kata ibu yang sedang menggenggam tangan
hangatku.
Sudah 15 menit
aku menunggu angkot disini, tak satupun yang lewat, tentu saja aku mencetuskan
untuk jalan kaki, sekolahku lumayan jauh, namun hendak melangkahkan kaki dengan
cepat, gadis itu datang tiba-tiba lagi.
“Hauraaaaa!
Sendirian? Sama aku aja, cepat!”
Akupun masuk ke dalam
mobil mewah miliknya, seperti biasa sindrom narsis Vio mulai kumat, dia
mengambil foto bersamaku dan meng-upload
ke facebook dan instagram miliknya, sungguh alay gadis ini, tapi yang sangat
ironis adalah (Vio dengan rambut indahnya dan berbedak tebal mengambil foto
berdua dengan seorang cewek berkeringat, rambut mengembang, bedak yang luntur,
dan berekspresi mulut setengah nganga plus
hidung mengembang, tak lupa pandangan mata yang tak berdosa kea rah kamera,
dan tangan yang seolah-olah menjadi kipas).
“Try Out pertama
pergi sekolah bareng Haura asiik” Ujar Vio dengan nada manja sambil asik
mengetikkan kata-kata tersebut di HPnya.
“Vio makasih ya
udah mau numpangin”
“Sama-sama
beeybeeeh, OMGGG! Ada pria tampan comment
foto kita”
‘Pria tampan?’
pikirku, sejak kapan Vio pake bahasa Indonesia yang baik dan benar, sejak kapan
ada julukan ‘pria tampan’ untuk salah satu temannya di media social, entah
mengapa ada orang yang seperti ini mau berteman dengan orang sepertiku.
“Emangnya bilang
apa?”
“Ada deeh, kamu
pasti bakalan kepo”
“Aku? Aku? Gak
bakalan kepo dengan urusan kamu, Vio”
“Haura, kamu
sekarang kok jahat sama aku”
“Aku? Aku? Aku
jahat?”
“Iya kamu. Kamu
jahat”
“Pio kamu itu
terlalu L-E-B-A-Y”
“Pio? Pio? Kamu
panggil aku Pio? Hora bilang aku lebay?”
“Hora? Sejenis
bahasa Indonesia yang tidak baku”
“Hora itu nama
kamu, nama kamu”
‘Untung aja ini
mobil punya dia, kalau enggak..’ kata hatiku.
“Iya, nama kamu, Hora, Hooraemonn kenapa diam?”
“Sudahlah Pio,
kita ini udah ada di depan gerbang sekolah lima menit yang lalu, dan kamu masih
gak mau turun? Aku turun duluan ya”
“Haura! Iih!
Haura! Tunggooeh!”
SMA Harapan Bangsa
Benar-benar mimpi
buruk, mengerjakan soal-soal matematika yang menyedihkan dan seolah ada yang
mencengkram kepalaku dengan sangat erat.
“Haura! Jangan
melamun!”
Bentakan guru
itu, guru super killer yang sekarang mengawas
ruangan ini, memecahkan keheningan seisi
ruangan.
“Maaf Bu, kepala
saya pusing”
“Banyak alasan
kamu!”
Tengggg! Tenggg tenggg!
Suara pertanda
istirahat menggemuruhkan kantin sekolah, tak lupa aku menjalankan pesan dari
ibu, mungkin setelah ini kepalaku akan membaik.
Setiap pulang
sekolah selalu ada gadis centil itu di ambang pintu kelasku, mungkin sudah
menjadi hal rutin sejak aku dan Vio masih
duduk di bangku SMP dulu.
“Kamu pulang sama aku aja ya!”
“Ga usah makasih Vio, nanti ayah aku juga
jemput kok”
“Padahal aku mau
ngajak kamu jalan-jalan dulu, ya udah aku
duluan ya! Sudah dijemput” Viopun
berlari sembari menyibakkan rambut panjangnya.
Lagi-lagi
menunggu dengan waktu yang tak singkat, hidupku butuh kesabaran setiap menit,
mengerjakan pekerjaan yang dilakukan dengan tidak sabar saja harus sabar, ya
cukup miris.
Tuuuuut tuuuut
tuuuut
Nomor yang anda
tuju sedang sibuk cobalah beberapa saat lagi
Mungkin phobiaku
adalah benci dengan suara wanita itu, suara yang selalu datang disetiap aku
menelpon ayah, dan aku kembali bersabar.
Di tengah teriknya panas kota ini, aku
berjalan menuju rumah, sesampai di rumah tak terlihat seorangpun, tak seperti
biasanya tak ada ibuku yang duduk manis di ruang tamu.
Aku membuka pintu
yang tak terkunci, dengan pikiran yang kosong, aku langsung masuk ke kamar,
tampak wajahku yang pucat dan mataku yang sangat merah di cermin depan kasurku,
aku terbaring dan sesaat setelah mengenduskan napas yang dalam aku terlelap tak
sadarkan diri.
Tepat matahari
mulai terbenam, cahaya-cahaya disetiap rumah dan gedung-gedungpun terlihat
jelas dari jendela kamarku, aku terbangun dan mencoba untuk menstabilkan diri,
menghidupkan lampu dan mengecek di setiap ruangan, ternyata masih saja tak ada
lagi orang di rumahku selain diri yang lemas ini.
Tiba-tiba
terdengar deringan HPku, benar apa yang sudah kutafsirkan terlihat nama ibu.
“Hallo”
“Haura kamu sudah
makan? Ibu sudah siapkan makanan di lemari es untuk besok, Ibu juga sudah masak
buat kamu makan hari ini”
“Sudah makan di sekolah”
“Kamu harus
makan, besok kamu bisa membuat makanan instan yang sudah Ibu siapkan, Ibu lagi
di rumah nenek, jangan bilang Ayah Ibu
ada dimana, kalau kamu masih sakit obatnya ada di atas lemari kamu, jaga diri
kamu baik-baik, maaf sayang, ibu sayang Haura”
“Iy…”
Tuuuut tuuuut tuuut
“Assalamualaikum” suara ayah merubah situasi.
“Wa’alaikum salam,
Yah Ibu gak ada dirumah”
“Biarkan saja”
dengan santainya ayahku bicara seperti itu, ku kira ayah akan mencari ibu dan
tak tidur semalaman.
Sekarang aku tak
mengerti apa yang dipikirkan semua orang, kini kejadian dimana hal yang tak ku
inginkan terjadi, aku harap ibu juga tak tidur semalaman sama denganku, yang
pasti ayah tak begitu.
Sudah berminggu-minggu
tanpa ibu di sini, tak pernah lagi ku dengar suara teriakan ibu setiap pagi,
genggaman tangan itu, dan senyuman ibu yang menenangkan hatiku.
Pagi ini nenek
menelponku dan bilang kalau ibu sakit, hendak memberi kabar ke ayah, namun ayah
sudah pergi dulu, sesibuk inikah seorang koruptor, kini aku menjadi anak dingin
dari seorang koruptor dan ibu yang pergi dan sakit, keluarga berantakan, yang
sedang sibuk dengan ujian yang 2 bulan lagi akan datang, mungkin sebentar lagi
kedinginan ini berubah menjadi kedepresian yang dapat membelokkan garis arah
mimpiku.
Ku kira ini hanya
mimpi yang sebatas khayalan, aku berlari dan desak-desakkan ke mading sekolah
bersama Vio, tampak tulisan “Haura Penia” aku menggerakkan lurus jadi
telunjukku terlihat lagi tulisan “LULUS” tak sadar air mata pertama dan
terakhir menetes di sekolah ini tepat di pundak Vio, sahabatku.
Dengan langkah
kaki yang sangat cepat aku berlari menuju rumahku, terlihat dari jauh
orang-orang yang berbadan kekar dan tinggi turun dari mobilnya di depan
rumahku, aku menghentikan langkah ini, membuka kunci handphone, mencari nama “Ayah”, dan menekan tombol berwarna hijau,
tiba-tiba saja seorang menarik tanganku, tangan hangat itu pasti tangan ayah,
ia langsung berlari membawaku masuk kedalam mobilnya dan melaju kencang.
“Ayah aku lulus!
Alhamdulillah nilainya bagus”
“Alhamdulillah”
“Kita mau
kemana?”
“Kamu bisa
diam!?” bentakan ayah meluncur begitu saja dari mulutnya.
Sontak aku
langsung terdiam dan memandangi jalanan perkotaan yang begitu padatnya, mobil
yang ku kendarai ini langsung berhenti depan rumah sakit.
“Ibu?” pertanyaan
ku itu sama sekali tak merespon ayah yang sibuk melangkahkan kaki di
lorong-lorong rumah sakit.
“Kamu tunggu
disini” kata ayah dan iapun pergi ke dalam salah satu ruangan.
Saat melihat ke
sekeliling terlintas seorang yang tak asing lagi di salah satu lorong, itu nenekku,
aku langsung mengikuti nenek, nenekku berhenti dalam ruangan tempat dimana
ibuku sedang terbaring lemas, aku langsung memeluk erat ibuku yang sedang
terlelap, ternyata ayah sudah ada dari tadi mengikutiku sampai disini.
Dokter bergumam
agar meninggalkan ruangan ini karena ibu akan pindah ruangan, aku bergegas
keluar hanya bisa melihat ibu dari jendela ruangan baru itu, ayahpun pergi
entah kemana, karna sekarang aku tak lagi ingin memikirkan ayah, aku hanya
ingin berbagi kebehagiaan hari ini untuk ibuku.
Waktu yang harus
aku lewati untuk memberi kabar gembira harus berubah situasi, aku yakin ini
memang adil tapi jujur aku belum bisa menerima kenyataan yang ada.
*****
Hari yang
kujalani untuk menempuh mimpi-mimpi yang telah ku susun dan tertata rapi, sekarang
hanya berdua, ya hanya berdua dengan sang ibu yang telah sembuh dari penyakit
livernya, ayahku memang seorang koruptor, tapi seorang koruptor tetaplah
manusia, sekali manusia terjahatpun tetaplah mempunyai hati nurani.
Akhir-akhir ini
ayah memang dingin, tapi dulu ayah adalah sesosok yang sangat menyenangkan, aku percaya ayah melakukan ini
bukanlah untuk lari dari kenyataan, tapi ayah hanya memperbaiki kenyataan yang
ada, selagi kenyataan itu masih bisa diusahakan untuk diperbaiki, walau
sekarang keluargaku selalu dicemooh orang disekitar rumahku, walau sekarang aku
dan ibu tak lagi punya rumah, hanya tinggal bersama sang nenek yang setia pada
ibuku, aku harap ibuku juga begitu padaku suatu saat nanti.
Pernah merasakan
memperjuangan puncaknya mimpi bersama ayah yang sekarang pergi jauh tak kembali
lagi, dan merasakan memperjuangkan kesuksesan bersama ibu, sekarang aku kuliah
di salah satu univercity di Australia, telah ku katakan orang selalu
menggoncang-gancing keluargaku, pernah ku dengar “Dia memakai uang Ayahnya,
buat kuliah jauh” aku tidak memakai uang
ayahku, uang ayahku semuanya diserahkan ke negara, aku kuliah karena mendapat
beasiswa prestasi, Vio? Ya Vio juga sekarang satu kampus denganku, kami memang
selalu ditakdirkan bersama, tapi tidak untuk berumah tangga.
‘Tak ada hidup
yang sempurna hanya ada hidup yang adil’ tetap ku simpan kata-kata ayah sepuluh
tahun yang lalu sampai kapapun, dan aku akan tetap bilang sampai kapanpun
kata-kata ini untuk ayah “Bukannya aku tak ikhlas Ayah tak ada, aku hanya
merindukanmu, Ayah”
______``______
FITRIA SHOLATA